Jumat, 06 Februari 2015

TEORI KONFLIK

OLEH : MUFAZZAL

PENGERTIAN KONFLIK

Menurut Webster (1966), ‘conflik’ di dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan”. Yaitu berupa konfronstasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya “ketidak sepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain”.

Menurut Dean G.Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, konfik yaitu persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived difergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.

SUMBER-SUMBER KONFLIK


1. Determinan Tingkat Aspirasi.

Aspirasi bangkit dan kemudian menghasilkan konflik karena salah satu dari dua alasan, yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya bahwa mereka berhak objek tersebut. Pertimbangan pertama bersifat realistis, sedangkan yang kedua bersifat idealistis.

a) Prestasi masa lalu.

b) Persepsi mengenai kekuasaan.

c) Aturan dan norma.

d) Perbandingan dengan orang lain.

e) Terbentuknya kelompok pejuang (Struggle Group).


2. Determinan Persepsi Mengenai Aspirasi Para Pihak lain.


3. Tidak Adanya Alternatif Yang dapat Diterima Semua Pihak.


4. Stabilitas sebagai penekan konflik.


BAIK DAN BURUK TENTANG KONFLIK

Kabar Baik

Meskipun konflik dapat ditemukan di hampir setiap bidang interaksi manusia, Darwin, Freud, dan Marx telah membuat hal ini menjadi jelas dan meskipun berbagai episode konflik merupakan peristiwa-peristiwa paling signifikan dan pantas menjadi berita dalam kehidupan manusia, tetapi anggapan bahwa setiap interaksi perlu melibatkan konflik adalah salah. Bila mana konflik itu memang tetap terjadi, maka lebih sering konflik itu dapat teratasi daripada tidak, bahkan dapat diselesaikan dengan sedikit masalah dan dapat memuaskan semua pihak.

Pertama, konflik adalah persemain yang subur bagi terjadinya perubahan social. Orang yang menganggap situasi yang dihadapi tidak adil atau menganggap bahwa kebijakan yang berlaku saat ini tolol biasanya mengalami pertentangan dengan peraturan yang berlaku sebelumnya.

Kedua, konflik social adalah konflik tersebut memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan. Kebanyakan konflik tidak berakhir dengan kemenangan di salah satu pihak dan kekalahan di pihak lainnya. Sebaliknya, beberapa sintesis dari posisi dari kedua belah pihak yang bertikai, beberapa di antaranya berupa kesepakatan yang bersifat integrative yang menguntungkan kedua belah pihak dan memberikan manfaat kolektif yang lebih besar bagi para anggotanya sering kali terjadi.

Ketiga, atas dasar kedua fungsi diatas, konflik dapat mempererat persatuan kelompok. Tanpa adanya kapasitas perubahan social atau rekonsiliasi atau kepentingan individual yang berbeda, maka sodilaritas kelompok tampaknya akan merosot dengan serta membawa serta efektivitas kelompok dan kenikmatan pengalaman berkelompok (coser, 1959).

Kabar Buruk

Ketika konflik benar-benar terjadi, biasanya dapat teratasi tanpa sakit hati maupun dendam, dan bahkan disertai sejumlah fungsi positif. Sekalipun demikian, konflik benar-benar mampu menimbulkan malapetaka dimasyarakat. Angka kematian akibat konflik sangat mengkhawatirkan. Dan dengan pedang penghancur bertenaga nuklir damoclea yang membayangi kepala kita semua, pasti sangatlah sulit untuk mengingkari kenyataan bahwa konflik adalah masalah utama.

Meskipun tampaknya paradoksal, bahwa konflik dapat berakibat buruk sekaligus menguntungkan, paradox ini sering kali lebih bersifat tidak nyata. Yang lebih sering terjadi adalah fungsi positif dibenamkan oleh konsekuensi negative yang timbul akibat digunakannya taktik contentions yang berlebihan. Dalam kepanikan akibat penghinaan, ancaman, dan bahkan tekanan fisik, kiranya sulit untuk melihat adanya fungsi positif konflik.

Ketika orang menangani konflik dengan contending di mana masing-masing berusaha agar sedapat mungkin pihak lawanlah yang berkorban, maka sejumlah tindakan dan tindakan balik yang dilakukan justru akan cenderung menimbulkan itensitas konflik. Kita menyebut peningkatan itensitas ini sebagai eskalasi.

PENYELESAIN KONFLIK

Contending (bertanding).

Contending yaitu taktik mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lain. Presiden Reagan menerapkan perilaku constending, ketika ia secara sepihak memecat para anggota serikat buruh yang mengikuti aksi mogok. Di dalam pertengkaran antara kedua bocah, contending tersebut terbentuk tindakan fisik, yaitu bergulat untuk memperebutkan satu coklat. 

Yielding (mengalah).

Yielding yaitu taktik menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima dari yang sebetulnya diinginkan. Masing-masing pihak bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya mereka inginkan untuk mencapai kesepakatan yang dapat di terima kedua belah pihak. Yielding memang menciptakan solusi, tetapi bukan solusi yang berkualitas tinggi. Dalam teknik ini salah satu pihak menarik diri dari konflik yang lebih besar, biasanya pemikiran ini lahir akibat besarnya biaya konflik yang di keluarkan dari pada manfaat yang di terima. Sehingga kedua pihak berunding dan menerima sebagian yang di sengketa, bahkan sangat kecil dari yang di inginkan.

Problem Solving (pemecah masalah).

Yaitu mencari alternative yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Dalam teknik ini pihak yang bersengketa sudah di fasilitasi oleh pihak ketiga untuk berunding bersama-sama guna mencapai satu kesepakatan yang saling memuaskan kedua belah pihak. Dalam problem solving pihak ketiga harus benar-benar netral, tidak memihak ke salah satu pihak yang bersengketa. Jika pihak ketiga memihak kesalah satu pihak maka akan menimbulkan konflik yang lebih besar dan meluas.

With Drawing (menarik diri)

Yaitu memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis. With Drawing biasanya terjadi dalam konflik antara Negara besar dengan Negara miskin, sehingga Negara miskin menarik diri dari sengketa. Negara miskin ini telah mempertimbangkan bahwa jika ia turun dalam konflik maka ia kalah secara materi dan financial, dan biasanya kerugian akan sangat besar. Dengan menarik diri dari konflik maka ia akan tetap aman, walaupun jatuhnya martabat. Seperti, perginya seorang bocah dari pertengkaran dengan orang dewasa, dengan perginya bocah ini maka konflik tidak terjadi, walau haknya telah dirampas, namun setidaknya bocah ini tidak babak belur di hantam oleh orang dewasa ini. 

Inaction (diam).

Yaitu, tidak melakukan apapun. Inaction biasanya terjadi akibat pemimpin lamban dalam mengambil kebijakan yang lebih tegas. Masing-masing pihak saling menunggu langkah berikut dari pihak lainnya.

Ketiga, contending, yielding, dan problem solving dapat dianggap sebagai strategi untuk mengatasi konflik, dalam arti bahwa masing-masing melibatkan beberapa usaha yang relative konsisten dan koheren untuk mengatasi konflik. Sebaliknya, with drawing dan inaction adalah strategi yang tidak dimaksudkan untuk mengatasi tetapi untuk menghentikan atau mengbaikan konflik.


Daftar Pustaka

Coser, L.A. 1959. The Functions of Social Conflikt. New York. Free Fress.

Pruitt D.G and Rubin J.Z. 1986. Social Conflict Escalation, stalemate, and Settlement. McGraw-Hill, Inc.

Webster, N. 1966. New Twentieth Century Dictionary. 2nd ed.

Penulis adalah mahasiswa ilmu politik FISIP unsyiah. Penggagas, Pendiri dan Pembina Forum Intelektual Muda Kajian Politik (FAMKAP).

Minggu, 01 Februari 2015

THOMAS HOBBES :NEGARA KEKUASAAN SEBAGAI LEVIATHAN

Oleh ; FURQAN

Thomas Hobbes mengibaratkan negara sebagai leviathan, sejenis monster (mahkluk raksasa) yang ganas, menakutkan dan bengis, yang terdapat dalam kisah perjanjian lama. Mengapa Hobbes berpendapat demikian? Untuk memahaminya kita perlu memahami konteks sosio-historis pemikiran tokoh ini.

KONTEKS SOSIO-HISTORIS DAN BIOGRAFI SINGKAT

Hobbes dilahirkan dalam keluarga miskin. Ayahnya seorang pendeta, mengirimkan Hobbes pada seorang paman yang kaya. Pamannya inilah yang membesarkan dan mendidik Hobbes. Atas bantuan keuangan pamannya Hobbes belajar di universitas Oxford.

Banyak peristiwa sosial politik yang mempengaruhi pemikiran Hobbes, diantaranya pertentangan antara gereja, kaum puritan dan kaum katolik serta konfrontasi antara raja dan parlemen. Oleh sebab itu dia terobsesi untuk mencari pemecahan masalah bagaimana perang dan konflik bisa dihindari dan terciptanya perdamaian. Hobbes menyimpulkan. Pertama, salah satu sebab terjadinya perang agama, sipil dan konflik konflik sosial adalah karena lemahnya kekuasaan negara. Kedua, perang dapat dihindari dan terciptanya perdamaian bila kekuasaan negara mutlak, tidak terbagi bagi. Demokrasi bagi hobbes adalah malapetaka politik yang mesti dihindari. Dalam mencari pemecahan masalah Hobbes mempertanyakan bagaimana masyarakat dapat diatur sehingga konflik sosial dapat dihindari, bagaimana hubungan antara hukum, negara, kekuasaan dan moralitas dalam kaitannya dengan usaha menciptakan perdamaian, Bagaimana persoalan perang sipil dan agama?. Di sini dia menghadapi kenyataan kontradiktif ketika kaum agama menyatakan perjuangan mereka berdasarkan norma dan nila agama yang luhur, tetapi kenyataannya kaum agama muncul dalam sejarah sebagai aktor aktor politik yang bengis dan kejam. 

Dari pengamatan itu Hobbes menarik dua kesimpulan: Pertama menata masyarakat berdasarkan prinsip prinsip normatif seperti agama dan moralitas tidak mungkin. Prinsip prinsip itu hanyalah kedok emosi dan nafsu hewani yang rendah. Kedua, masyarakat bisa mewujudkan perdamaian hanya apabila mampu mengeyahkan hawa hawa nafsu itu, damai tercipta bila manusia terbebas dari hawa nafsunya. 

MANUSIA DALAM PANDANGAN HOBBES

Menurut Hobbes manusia adalah pusat segala permasalahan sosial dan politik. manusia tidak bisa didekati secara normatif religius, cara terbaik menurut Hobbes adalah mendekati manusia sebagai sebuah alat mekanis dan memahaminya dari pendekatan matematis-geometris. 

Tokoh – tokoh yang mempengaruhi pemikiran Hobbes adalah : Francis Bacon (Inggris), Rene Descartes (Prancis), Galileo Galilei (Italia).

Hobbes mengakui kekuatan akal dan naluri manusia itu sama kuatnya. Alam memang telah mengatur demikian, dan hakikat alamiah tersebutlah yang akhirnya melahirkan persaingan sesama manusia. Dan Hobbes berpendapat bahwa kehidupan manusia akan selalu diwarnai persaingan dan konflik kekuasaan.

Pertarungan sesama manusia itu diperkuat oleh tiga faktor, menurut Hobbes. Yaitu:

Kecendrungan alamiah manusia untuk meraih kebesaran tertinggi, bagi manusia kebesaran diri merupakan bentuk kebahagiaan tertinggi.

Kesetaraan manusia karena secara alamiah manusia tak ada yang lebih kuat dari manusia lainnya.

aktor agama. Agama bisa memperuncing konflik.

Hobbes kurang simpatik terhadap agama, bukan saja menganggap sebagai pemicu konflik antara manusia bahkan dia menganggap agama itu takhayul dan produk rasa takut. Dan rasa takut manusia akan kekuatan di luar dirinya membuat manusia percaya pada agama, roh-roh dan tuhan.

STATE OF NATURE DAN TERBENTUKNYA NEGARA

Hobbes melukiskan keadaan manusia sebelum terbentuknya negara sebagai keadaan alamiah. Dalam keadaan alamiah manusia bebas melakukan apapun yang dikehendakinya sesuai tuntutan nalurinya.

Dalam keadaan alamiah manusia bukan lah seperti hewan, meski sama-sama memiliki naluri, naluri hewan mendorong untuk berkompromi, sedangkan naluri manusia mendorong untuk berkompetisi dan berperang. Di sinilah akal dan nalar berperan, yang membimbing manusia untuk berdamai dan nalar manusia merasa membutuhkan “kekuatan bersama” yang bisa menghindari pertumpahan darah. Akal mengajarkan bahwa manusia sebaiknya hidup damai di bawah kekuasaan negara dan hukum dari pada hidup bebas tapi anarkis dan berbahaya bagi keselamatan manusia. 

Hobbes berpendapat terbentuknya kedaulatan atau negara pada hakikatnya adalah perjanjian sosial, dalam perjanjian itu manusia dengan sukarela menyerahkan hak-haknya kepada seorang penguasa negara atau dewan rakyat.

Negara versi Hobbes memiliki kekuasaan mutlak. Kekuasaanya tidak boleh terbelah. Jika terbelah akan timbulnya anarki, perang sipil atau perang agama. Karena kekuasaan negara mutlak maka akan melahirkan negara despotis/tirani. Tapi itu lebih baik menurut Hobbes daripada terjadi anarki akibat terbelah kekuasaan.

Untuk menghindari perang dan menciptakan perdamaian negara kekuasaan yang memilii sifat-sifat leviathan (kuat, kejam dan ditakuti) merupakan pemecahan masalah terbaik dalam hal ini.

Hobbes tidak setuju dengan demokrasi atau sejenis dewan rakyat sebab negara demokrasi menuntut adanya pluralisme politik termasuk adnya berbagai pusat-pusat kekuasaan. Menurut Hobbes monarki absolut hanya ada seorang penguasa adalah bentuk negara terbaik. Dengan hanya seorang penguasa rahasia-rahasia negara akan mudah dijaga. Keamanan negara lebih terjamin.Negara dengan penguasa dewan rakyat akan mudah mengalami disintegrasi dan dalam membuat sebuah keputusan, kesepakatan sulit untuk tercapai.

Ada kesan Hobbes tidak menolak munculnya nepotisme dalam proses pergantian penguasa. Konsekuensinya Hobbes bisa membenarkan pengangkatan seorang penguasa atas dasar keturunan, suatu prinsip yang dianut raja-raja Eropa di abad-abad pertengahan.

Penulis Adalah Mahasiswa FISIP Unsyiah Jurusan Ilmu POLITIK, Ketua Bidang Kajian Politik Islam di Forum Intelektual Muda Kajian Politik, dapat dihubungi Furqan@gmail.com.