Rabu, 07 Januari 2015

Demokrasi : Prosudural Vs Substansial

DEMOKRASI
PROSUDURAL VS SUBSTANSIAL


Demokrasi bukan hanya transformasi prosedural, tapi juga substansial. Demokrasi yang bersifat prosedural tidak mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat, karena ia hanya terikat pada aturan-aturan formal yang berlaku. Bahkan demokrasi prosedural dapat menjadi alat penindasan kaum mayoritas otoriter yang berwatak sektarianisme. Contohnya, yang dilakukan Hitler dan Nazi-nya. Di bawah naungan sistem demokrasi, Hitler menjalankan modus berpolitik sektarian. Atas nama kebebasan, dia berpidato mengobok-obok perasaan anti-Semit Jerman, yang memang pada kenyataannya perekonomian Jerman dikuasai kelompok Yahudi.

Dengan cara demagogi ini ia mampu meraih simpati rakyat Jerman. Dengan demagogi yang menggiurkan sektarianisme mudah menarik massa, sebaliknya orang-orang yang ingin mewujudkan prinsip-prinsip kebebasan dan keadilan kering massa. Dalam demokrasi di Indonesia dewasa ini dapat kita saksikan adanya upaya-upaya dan kecenderungan mengarah pada politik sektarianisme yang otoriter dan diperjuangkan melalui prosedur demokrasi. RUU APP, misalnya, adalah salah satu upaya pelolosan kepentingan politik sektarian. RUU tersebut antikeragaman. Ini juga berarti upaya penyeragaman. Sedangkan penyeragaman adalah suatu tindakan yang otoriter. Cara berkampanye mereka sering menggunakan demagogi-demagogi yang mengidentifikasi kelompok mereka lebih mulia dari kelompok yang lain berdasarkan argumentasi keyakinan yang fundamental. Oleh karena itu, jalan hidup kelompok yang lebih mulia harus diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gawatnya, demagogi politik sektarian lebih mudah mendapatkan massa.

Di dalam demokrasi prosedural juga terdapat bahaya liberalisme yang bersifat universal dan hanya memandang kebebasan hanyalah kebebasan bersifat negatif. Maksudnya, kebebasan hanya dilihat sebagai kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul dan bersyarikat, kebebasan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dalam berbisnis dan berdagang (logika pasar bebas), serta kebebasan untuk melakukan suatu tindakan apapun asalkan tidak merugikan orang lain. Pada intinya kebebasan negatif adalah absennya penghalang bagi seseorang dalam menjalankan hidupnya. Model kebebasan negatif tersebut dianut dan diagung-agungkan oleh kelompok pemikiran yang bernama neoliberalisme. Jadi, selain sektarianisme demokrasi juga diancam oleh neoliberalisme.

Bentuk kebebasan itu tidak cukup menggambarkan prinsip keadilan masyarakat yang menjadi syarat suksesnya demokrasi. Kelemahannya; pertama, universalisme tidak mampu mewadahi aspek-aspek kebebasan bersifat lokal yang mengalami ketertinggalan. Selalu terbawa pada mimpi-mimpi universal bahwa setiap orang harus diperlakukan sama di depan hukum tanpa harus ada pembedaan. Padahal kebutuhan dan tuntutan manusia di setiap komunitas berbeda-beda. Misalnya politik aksi afirmatif yang digaungkan kaum feminis dan multikulturalis dianggap sesat di mata universalisme liberal, karena dianggap melanggar prinsip persamaan hak setiap individu dengan memberikan kemudahan kepada individu atau kelompok yang lain.

Kedua, kebebasan negatif hanya menganggap hambatan kebebasan hanya bersifat eksternal. Maksudnya adalah, kebebasan kita terhambat apabila ada orang lain yang menghalanginya. Sebenarnya hambatan kebebasan tidak hanya bersifat eksternal, tetapi juga internal. Orang cacat dan orang miskin misalnya. Kebebasan mereka untuk meraih fungsi hidupnya akan tetap terhambat meskipun syarat-syarat kebebasan negatif sudah dipenuhi. Orang cacat dan orang miskin terhambat kebebasannya untuk meraih fungsi kehidupan seperti mendapatkan, makanan, pakaian, tempat tinggal, dan pendidikan yang layak disebabkan oleh ketidakmampuannya secara internal yang sebenarnya tak ia kehendaki, namun kenyataan kehidupan menjadikan mereka seperti itu. Kebebasan negatif tak mampu menjawab persoalan ini. Si cacat dan si miskin dibiarkan saja tanpa harus ada kompensasi selama kemiskinan dan kecacatan tersebut tidak disebabkan oleh perbuatan langsung orang lain. Adilkah tindakan ini? Jawabannya tentu saja tidak, dan oleh sebab itu ia tidak memenuhi prinsip demokrasi secara substansial. Demokrasi substansiallah yang akan melengkapi kekurangan demokrasi prosedural yang baru setengah jadi menuju tercapainya visi dan misi demokrasi yang sebenarnya.

Secara substansial sebenarnya demokrasi sebuah cara hidup yang harus dibagi bersama oleh siapa pun dalam suatu komunitas politik. Pembagian bersama tersebut harus bersifat jujur dan adil. Demokrasi juga berarti perluasan sekaligus konkretisasi kebebasan. Perluasan berarti menjamin kebebasan bagi semua (tidak hanya mereka yang berkecukupan) sedang konkretisasi berarti menjamin kemampuan riil mengakses kebebasan. Kemampuan riil mengakses kebebasan guna meraih fungsi hidup dinamakan dengan kebebasan positif. Demi tercapainya semua ini prinsip kesetaraan perlu dipatenkan pada struktur dasar masyarakat.

Struktur dasar masyarakat merupakan konfigurasi berbagai institusi sosial dalam satu sistem. Sistem yang mendistribusikan hak dan kewajiban yang mendasar dalam merumuskan pembagian keuntungan dan kerja sama sosial. Konstitusi politik, organisasi ekonomi dan keluarga termasuk struktur dasar. Pematenan struktur dasar masyarakat pada akhirnya harus dirumuskan dan dituangkan dalam kebijakan publik untuk kemudian diimplementasikan dalam masyarakat. Pemerintah adalah yang menjadi penanggung jawab terlaksananya kebijakan publik, dan menjadi pelindung bagi terjamin dan terpenuhinya kebebasan warga negara secara menyeluruh.

Cara yang ditempuh agar demokrasi yang berkeadilan dapat diraih semua orang, di mana struktur dasar masyarakat terpatenkan dan sudah tertuang serta terimplementasikan dalam kebijakan publik adalah dengan melakukan musyawarah dalam ruang publik yang disertai dengan aktualisasi nalar publik. Orang yang menggunakannya dalam musyawarah di ruang publik secara langsung akan menghargai kebebasan orang secara negatif dan secara positif. Nalar publik mampu menghilangkan tindakan irasionalitas politik dan menggantinya dengan suatu sikap politik yang terbuka serta ia mampu mengikis sifat egois argumen kebebasan negatif semata dengan memunculkan sikap solidaritas terhadap sesama yang mengalami penderitaan. Keterukuran maksimalnya penggunaan nalar publik pada seberapa besar penghargaan terhadap kebebasan orang lain. Jika pikiran-pikiran tersebut dijalankan, tanpa bertinggi hati insyaallah Indonesia menjadi bangsa yang adil, makmur dan sentosa.

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari resume di atas ialah, bahwa demokrasi prosedural tidak mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat, karena ia hanya terikat pada peraturan-peraturan formal yang berlaku. Di dalam demokrasi prosedural juga terdapat bahaya liberalisme yang bersifat universal dan hanya memandang kebebasan yang bersifat negatif. Model kebebasan negatif tersbut dianut dan diagung-agungkan oleh kelompok pemikiran yang bernama neoliberalisme, jadi selain sektarianisme demokrasi juga diancam oleh neoliberalisme.

Secara substansial demokrasi merupakan sebuah cara hidup yang harus dibagi bersama oleh siapapun dalam komunitas mayarakat yang di dalamnya terdapat struktur, kekongkretisasi kebebasan yang berfungsi untuk mencapai prinsip kesetaraan pada struktur dasar masyarakat.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar