Minggu, 01 Februari 2015

THOMAS HOBBES :NEGARA KEKUASAAN SEBAGAI LEVIATHAN

Oleh ; FURQAN

Thomas Hobbes mengibaratkan negara sebagai leviathan, sejenis monster (mahkluk raksasa) yang ganas, menakutkan dan bengis, yang terdapat dalam kisah perjanjian lama. Mengapa Hobbes berpendapat demikian? Untuk memahaminya kita perlu memahami konteks sosio-historis pemikiran tokoh ini.

KONTEKS SOSIO-HISTORIS DAN BIOGRAFI SINGKAT

Hobbes dilahirkan dalam keluarga miskin. Ayahnya seorang pendeta, mengirimkan Hobbes pada seorang paman yang kaya. Pamannya inilah yang membesarkan dan mendidik Hobbes. Atas bantuan keuangan pamannya Hobbes belajar di universitas Oxford.

Banyak peristiwa sosial politik yang mempengaruhi pemikiran Hobbes, diantaranya pertentangan antara gereja, kaum puritan dan kaum katolik serta konfrontasi antara raja dan parlemen. Oleh sebab itu dia terobsesi untuk mencari pemecahan masalah bagaimana perang dan konflik bisa dihindari dan terciptanya perdamaian. Hobbes menyimpulkan. Pertama, salah satu sebab terjadinya perang agama, sipil dan konflik konflik sosial adalah karena lemahnya kekuasaan negara. Kedua, perang dapat dihindari dan terciptanya perdamaian bila kekuasaan negara mutlak, tidak terbagi bagi. Demokrasi bagi hobbes adalah malapetaka politik yang mesti dihindari. Dalam mencari pemecahan masalah Hobbes mempertanyakan bagaimana masyarakat dapat diatur sehingga konflik sosial dapat dihindari, bagaimana hubungan antara hukum, negara, kekuasaan dan moralitas dalam kaitannya dengan usaha menciptakan perdamaian, Bagaimana persoalan perang sipil dan agama?. Di sini dia menghadapi kenyataan kontradiktif ketika kaum agama menyatakan perjuangan mereka berdasarkan norma dan nila agama yang luhur, tetapi kenyataannya kaum agama muncul dalam sejarah sebagai aktor aktor politik yang bengis dan kejam. 

Dari pengamatan itu Hobbes menarik dua kesimpulan: Pertama menata masyarakat berdasarkan prinsip prinsip normatif seperti agama dan moralitas tidak mungkin. Prinsip prinsip itu hanyalah kedok emosi dan nafsu hewani yang rendah. Kedua, masyarakat bisa mewujudkan perdamaian hanya apabila mampu mengeyahkan hawa hawa nafsu itu, damai tercipta bila manusia terbebas dari hawa nafsunya. 

MANUSIA DALAM PANDANGAN HOBBES

Menurut Hobbes manusia adalah pusat segala permasalahan sosial dan politik. manusia tidak bisa didekati secara normatif religius, cara terbaik menurut Hobbes adalah mendekati manusia sebagai sebuah alat mekanis dan memahaminya dari pendekatan matematis-geometris. 

Tokoh – tokoh yang mempengaruhi pemikiran Hobbes adalah : Francis Bacon (Inggris), Rene Descartes (Prancis), Galileo Galilei (Italia).

Hobbes mengakui kekuatan akal dan naluri manusia itu sama kuatnya. Alam memang telah mengatur demikian, dan hakikat alamiah tersebutlah yang akhirnya melahirkan persaingan sesama manusia. Dan Hobbes berpendapat bahwa kehidupan manusia akan selalu diwarnai persaingan dan konflik kekuasaan.

Pertarungan sesama manusia itu diperkuat oleh tiga faktor, menurut Hobbes. Yaitu:

Kecendrungan alamiah manusia untuk meraih kebesaran tertinggi, bagi manusia kebesaran diri merupakan bentuk kebahagiaan tertinggi.

Kesetaraan manusia karena secara alamiah manusia tak ada yang lebih kuat dari manusia lainnya.

aktor agama. Agama bisa memperuncing konflik.

Hobbes kurang simpatik terhadap agama, bukan saja menganggap sebagai pemicu konflik antara manusia bahkan dia menganggap agama itu takhayul dan produk rasa takut. Dan rasa takut manusia akan kekuatan di luar dirinya membuat manusia percaya pada agama, roh-roh dan tuhan.

STATE OF NATURE DAN TERBENTUKNYA NEGARA

Hobbes melukiskan keadaan manusia sebelum terbentuknya negara sebagai keadaan alamiah. Dalam keadaan alamiah manusia bebas melakukan apapun yang dikehendakinya sesuai tuntutan nalurinya.

Dalam keadaan alamiah manusia bukan lah seperti hewan, meski sama-sama memiliki naluri, naluri hewan mendorong untuk berkompromi, sedangkan naluri manusia mendorong untuk berkompetisi dan berperang. Di sinilah akal dan nalar berperan, yang membimbing manusia untuk berdamai dan nalar manusia merasa membutuhkan “kekuatan bersama” yang bisa menghindari pertumpahan darah. Akal mengajarkan bahwa manusia sebaiknya hidup damai di bawah kekuasaan negara dan hukum dari pada hidup bebas tapi anarkis dan berbahaya bagi keselamatan manusia. 

Hobbes berpendapat terbentuknya kedaulatan atau negara pada hakikatnya adalah perjanjian sosial, dalam perjanjian itu manusia dengan sukarela menyerahkan hak-haknya kepada seorang penguasa negara atau dewan rakyat.

Negara versi Hobbes memiliki kekuasaan mutlak. Kekuasaanya tidak boleh terbelah. Jika terbelah akan timbulnya anarki, perang sipil atau perang agama. Karena kekuasaan negara mutlak maka akan melahirkan negara despotis/tirani. Tapi itu lebih baik menurut Hobbes daripada terjadi anarki akibat terbelah kekuasaan.

Untuk menghindari perang dan menciptakan perdamaian negara kekuasaan yang memilii sifat-sifat leviathan (kuat, kejam dan ditakuti) merupakan pemecahan masalah terbaik dalam hal ini.

Hobbes tidak setuju dengan demokrasi atau sejenis dewan rakyat sebab negara demokrasi menuntut adanya pluralisme politik termasuk adnya berbagai pusat-pusat kekuasaan. Menurut Hobbes monarki absolut hanya ada seorang penguasa adalah bentuk negara terbaik. Dengan hanya seorang penguasa rahasia-rahasia negara akan mudah dijaga. Keamanan negara lebih terjamin.Negara dengan penguasa dewan rakyat akan mudah mengalami disintegrasi dan dalam membuat sebuah keputusan, kesepakatan sulit untuk tercapai.

Ada kesan Hobbes tidak menolak munculnya nepotisme dalam proses pergantian penguasa. Konsekuensinya Hobbes bisa membenarkan pengangkatan seorang penguasa atas dasar keturunan, suatu prinsip yang dianut raja-raja Eropa di abad-abad pertengahan.

Penulis Adalah Mahasiswa FISIP Unsyiah Jurusan Ilmu POLITIK, Ketua Bidang Kajian Politik Islam di Forum Intelektual Muda Kajian Politik, dapat dihubungi Furqan@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar